Pernahkah Anda bertanya kenapa kasus pertama COVID-19 di Indonesia baru terjadi pada awal Maret 2020, padahal banyak negara lain di Asia dan dunia sudah melaporkan kasus sejak Januari–Februari 2020?
Tahukah Anda alasan kenapa pandemi COVID-19 terdeteksi lebih terlambat masuk ke Indonesia?
Penasaran?
Mau tahu alasannya?
Berikut alasannya:
Kronologi singkat yang perlu dicatat
Kasus COVID-19 pertama yang secara resmi dikonfirmasi oleh pemerintah Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020 — dua pasien positif yang kemudian diisolasi dan dirawat. Banyak negara lain di kawasan sudah melaporkan kasus jauh lebih awal (contoh: Thailand dilaporkan kasus pertama pada 13 Januari 2020). Ini menempatkan Indonesia pada kelompok negara yang terdeteksi belakangan dibandingkan gelombang awal penyebaran internasional.
Alasan teknis dan epidemiologis
1. Deteksi bergantung pada impor kasus dan pola penerbangan — Indonesia kebetulan memiliki profil impor yang berbeda.
Penyebaran awal SARS-CoV-2 antar-negara sangat dipengaruhi oleh jumlah penumpang dan rute penerbangan dari kota-kota dengan pandemi seperti Wuhan dan kota-kota lain yang menjadi pusat penularan. Negara yang memiliki lalu lintas udara langsung dan tinggi dari epicenter cenderung menerima impor kasus lebih awal. Indonesia, meskipun memiliki rute internasional, memiliki pola lalu lintas yang berbeda dan tidak selalu menjadi rute paling padat dari titik-titik awal penyebaran pada fase sangat awal pandemi; kombinasi ini berpengaruh pada kapan impor pertama-pertama yang dapat menimbulkan cluster lokal terjadi. Studi kuantitatif menunjukkan bahwa importasi kasus berhubungan erat dengan volume penumpang dan prevalensi di kota asal.
2. Kemampuan pengawasan dan kapasitas tes awal yang terbatas menyebabkan kasus impor tidak terdeteksi cepat (under-ascertainment).
Pada fase awal tahun 2020 banyak negara—terutama dengan kapasitas laboratorium terbatas—mengalami under-detection. Indonesia tidak terkecuali: kapasitas pemeriksaan PCR awal terbatas, kriteria testing awal juga ketat (mis. berhubungan erat dengan perjalanan dari Wuhan atau kontak dekat dengan kasus terkonfirmasi), sehingga kasus bergejala ringan atau tanpa riwayat perjalanan spesifik mudah luput dari pengujian dan pelaporan. Beberapa analisis dan tinjauan menunjuk keterbatasan testing sebagai faktor utama keterlambatan deteksi resmi di sejumlah negara.
3. Banyak kasus awal bersifat ringan atau asimtomatik sehingga sulit dikenali oleh surveilans berbasis gejala.
SARS-CoV-2 memiliki proporsi penularan pra-simtomatik dan asimtomatik yang cukup signifikan. Sistem surveillance yang mengandalkan pemeriksaan orang bergejala saja akan melewatkan orang yang tidak bergejala atau hanya bergejala ringan sehingga penularan berlanjut “di bawah radar” sebelum akhirnya memicu cluster yang besar dan terlihat. Riset tentang strategi deteksi menekankan bahwa tanpa pengujian aktif (seperti testing kontak, testing travel-linked, atau surveilans sampel sampah/wastewater) mengakibatkan banyak infeksi awal tidak terdeteksi.
3. Pembatasan perjalanan, screening bandara, dan kebijakan administrasi mengubah peluang impor — sekaligus memberi ilusi terlambat.
Sejumlah negara menerapkan pembatasan perjalanan lebih cepat atau lebih luas pada fase awal, yang mengurangi jumlah importasi ke tujuan tertentu. Selain itu, skrining di bandara (seperti pengecekan suhu, formulir kesehatan) membantu menahan beberapa kasus simptomatik, walau tidak efektif untuk asimtomatik. Kombinasi kebijakan perjalanan internasioal, pembatalan rute, serta organisasi rute transit membuat beberapa negara menerima impor lebih lambat secara statistik. Namun perlambatan impor tidak selalu sama dengan ketiadaan transmisi — hanya menunda momen deteksi yang jelas. (Studi-studi model juga memperlihatkan bahwa pembatasan perjalanan mengurangi, tapi tidak menghilangkan, risiko impor jika prevalensi di wilayah asal tinggi).
4. Faktor administratif, definisi kasus, dan prioritas pemeriksaan memengaruhi waktu pengumuman resmi.
Di awal pandemi banyak negara berevolusi dalam definisi kasus dan sistem pelaporan. Negara-negara dengan prosedur verifikasi laboratorium dan administratif yang lebih panjang atau yang menunggu kepastian laboratorium/epidemiologis dapat mengumumkan kasus terkonfirmasi lebih lambat dibanding deteksi sebenarnya. Proses koordinasi dan kesiapan sistem kesehatan di Indonesia memengaruhi kecepatan pengumuman.
5. Unsur kebetulan (stochasticity) dalam epidemiologi
Penularan lintas batas bukan proses deterministik—kejadian acak terkait siapa yang tiba pada waktu tertentu, apakah orang itu infeksius saat tiba, apakah akan memicu cluster sangat menentukan. Jadi meski ada beberapa impor kecil, tidak semua impor menghasilkan transmisi lokal yang cepat; beberapa negara memang mengalami “delayed takeoff” sampai satu kejadian superspreader memicu gelombang lokal. Studi yang membandingkan negara-negara menunjukkan negara-negara dengan pengenalan “tertunda” seringkali terkait kombinasi kesiapan rendah, volume impor relatif kecil, dan faktor kebetulan.
Dampak dari keterlambatan deteksi & pelajaran penting
- Keterlambatan deteksi resmi tidak berarti negara kebal — seringkali itu berarti ada rantai penularan yang tidak teramati lebih dulu; ketika testing diperluas, jumlah kasus bisa melonjak tajam. Indonesia mengalami kenaikan kasus setelah pengujian dan pelacakan diperluas.
- Pelajaran praktis: deteksi dini membutuhkan kombinasi antara kapasitas laboratorium yang memadai; kriteria testing yang adaptif (tidak hanya mengandalkan riwayat perjalanan di fase awal; surveilans aktif untuk kelompok berisiko dan pemantauan tidak langsung; serta manajemen lintas sektor pada bandara/transportasi untuk mengurangi impor sambil mempertahankan deteksi yang sensitif.
Jadi kesimpulannya pandemi terlambat terdeteksi di Indonesia bukan hanya satu faktor saja melainkan merupakan kombinasi berbagai faktor, yakni profil impor dan arus penerbangan, kapasitas dan kebijakan testing awal, karakter epidemiologi virus (asimtomatik/pra-simtomatik), kebijakan perjalanan dan screening, faktor administratif pelaporan, serta unsur kebetulan dalam dinamika penularan. Gabungan faktor-faktor inilah yang menjelaskan kenapa kasus pertama Indonesia baru muncul pada 2 Maret 2020 meskipun SARS-CoV-2 telah menyebar ke banyak negara lebih awal.
Masih Penasaran?
Semoga Anda sudah tidak penasaran lagi.
Dari berbagai sumber
EmoticonEmoticon